Telaga Ngebel adalah sebuah danau alami yang
terletak di Kecamatan Ngebel, Kabupaten Ponorogo.
Telaga Ngebel adalah sebuah telaga indah dan asri dikelilingi hutan lindung yang juga merupakan hutan cagar alam di Timur laut kota Ponorogo, tepatnya berada di kaki gunung Wilis. Telaga ini berada di ketinggian + 750 meter di atas permukaan laut. Letaknya yang hanya lebih kurang 20 km dari ibu kota kota Kabupaten Ponorogo dan dapat ditempuh dengan kendaraan bermotor lebih kurang 1 jam. Mungkin jarak inilah yang menjadikan Telaga Ngebel merupakan alternative tujuan wisata yang cukup digemari warga Ponorogo.
Telaga Ngebel adalah sebuah telaga indah dan asri dikelilingi hutan lindung yang juga merupakan hutan cagar alam di Timur laut kota Ponorogo, tepatnya berada di kaki gunung Wilis. Telaga ini berada di ketinggian + 750 meter di atas permukaan laut. Letaknya yang hanya lebih kurang 20 km dari ibu kota kota Kabupaten Ponorogo dan dapat ditempuh dengan kendaraan bermotor lebih kurang 1 jam. Mungkin jarak inilah yang menjadikan Telaga Ngebel merupakan alternative tujuan wisata yang cukup digemari warga Ponorogo.
Banyak cerita legenda asal-usul dari terjadinya Telaga Ngebel, namun cerita yang terkenal yang disampaikan dari mulut ke mulut dari kakek nenek moyang sampai dengan saat ini, tidak lepas dari Tokoh Naga "Baru Klinthing" yang kurang lebih cerita legendanya adalah sebagai berikut :
Di kaki Gunung Wilis bagian barat, ada seorang pertapa yang mempunyai seorang anak gadis. Gadis tersebut melakukan dosa yang sangat besar sehingga saat melahirkan anak ,yang lahir bukanlah seorang bayi namun seekor ular naga yang kemudian diberi nama Baru Klinthing. Baru Klinthing berharap menjadi manusia seutuhnya dan diakui anak oleh ayahnya. Sang ayah mau mengakui dengan syarat naga tersebut harus mampu melingkari gunung Wilis dengan tubuhnya.
Baru Klinthing pun bersemedi, tubuhnya menjadi naga raksasa dan hampir berhasil memutari gunung Wilis hingga hanya kurang sejengkal (sekilan dalam bahasa Jawa), Baru Klinthing menjulurkan lidahnya untuk menggenapi syarat ayahnya. Ayah baru Klinthing tiba tiba menghunus keris dan memotong lidah baru klinthing sehingga upayanya gagal. Baru Klinthing pun murka dan hendak menelan ayahnya, sang ayah berkata..”anakku, aku memotong lidahmu karena lidah ular ular bercabang dua sedangkan lidah manusia tidak boleh “bercabang dua”, bersabarlah kelak Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Kuasa) akan menerimamu”. Akhirnya Baru Klinthing meneruskan semedinya.
Ratusan tahun kemudian penduduk desa di kaki gunung Wilis berburu ke hutan untuk pesta desa namun tak mendapat hasil. Karena lelah seorang penduduk membacok sebatang pohon yang anehnya mengeluarkan darah. Penduduk kemudian tahu bahwa pohon tersebut adalah seekor ular. Bukannya takut, mereka malah bersuka ria membunuh ular tersebut untuk diambil dagingnya kemudian pulang dan mengggelar pesta besar sambil memasak daging ular tersebut. Di tengah pesta datang seorang anak kecil dengan badan penuh luka meminta sedikit makanan.Sebenarnya anak tersebut adalah jelmaan Baru Klinthing, tubuhnya penuh luka akibat jasad naganya diambil dan dikuliti oleh penduduk desa.
Bukanya berbelas kasihan, penduduk desa malah mencaci maki dan melempari anak tersebut tanpa diberi makan sedikitpun. Ada seorang janda tua bernama Nyai Latung merasa kasihan sehingga jatah makananya ia berikan kepada anak tersebut. Anak tersebut kemudian berkata kepada Nyai Latung..”Mbok, baik benar hatimu. ..sekarang pulanglah..nanti kalau terjadi huru hara janganlah takut dan gentar, naiklah ke lesung (tempat menumbuk padi jaman dahulu yang berbentuk seperti perahu) dan peganglah enthong (alat mengambil nasi yang mirip dayung perahu) aku hendak memberi pelajaran manusia serakah dan tak kenal belas kasihan ini.”Nyai Latung pun pulang meski dengan hati yang heran.
Anak kecil jelmaan Baru Klinthing kemudian pergi ke tengah keramaian pesta, sambil membawa sekerat daging besar dia berkata..”aku punya sekerat daging besar, siapa bisa mencabut lidi yang aku tancapkan akan aku beri daging ini, kalau gagal akan aku minta daging kalian”. Tantangan ini disambut antusias penduduk desa yang serakah. Hal aneh terjadi, sebatang lidi yang ditancapkan ke tanah tak bisa dicabut meski oleh orang paling kuat.Akhirnya penduduk desa semua berkumpul ke tempat tersebut.
Saat semua telah berkumpul anak jelmaan Baru Klinthing berkata..” manusia serakah dan tak kenal belas kasihan, dagingku kalian ambil tapi sedikitpun kalian tidak sudi memberi aku yang kelaparan, terimalah ini pembalasanku…” sambil mencabut lidi yang ditancapkanya. Bumi bergoncang dan langit gelap gulita, bekas lidi tersebut mengeluarkan air deras yang luar biasa. Penduduk berlarian mencari selamat namun tanah retak dimana mana dan segera tertelan bumi. Desa tersebut tenggelam dan penduduk mati tenggelam. Nyai Latung selamat dari terjangan air bah karena mendengar pesan dari Baru Klinthing. Tanah desa tersebut kemudian menjadi daerah berair (dalam bahasa Jawa disebut ngembel) dan maka daerah tersebut kemudian diberi nama Ngebel. (cerita ini adalah cerita legenda yang secara nalar tidak bisa dijelaskan namun banyak pesan positif yang dapat kita ambil dari cerita legenda tersebut)
Di kaki Gunung Wilis bagian barat, ada seorang pertapa yang mempunyai seorang anak gadis. Gadis tersebut melakukan dosa yang sangat besar sehingga saat melahirkan anak ,yang lahir bukanlah seorang bayi namun seekor ular naga yang kemudian diberi nama Baru Klinthing. Baru Klinthing berharap menjadi manusia seutuhnya dan diakui anak oleh ayahnya. Sang ayah mau mengakui dengan syarat naga tersebut harus mampu melingkari gunung Wilis dengan tubuhnya.
Baru Klinthing pun bersemedi, tubuhnya menjadi naga raksasa dan hampir berhasil memutari gunung Wilis hingga hanya kurang sejengkal (sekilan dalam bahasa Jawa), Baru Klinthing menjulurkan lidahnya untuk menggenapi syarat ayahnya. Ayah baru Klinthing tiba tiba menghunus keris dan memotong lidah baru klinthing sehingga upayanya gagal. Baru Klinthing pun murka dan hendak menelan ayahnya, sang ayah berkata..”anakku, aku memotong lidahmu karena lidah ular ular bercabang dua sedangkan lidah manusia tidak boleh “bercabang dua”, bersabarlah kelak Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Kuasa) akan menerimamu”. Akhirnya Baru Klinthing meneruskan semedinya.
Ratusan tahun kemudian penduduk desa di kaki gunung Wilis berburu ke hutan untuk pesta desa namun tak mendapat hasil. Karena lelah seorang penduduk membacok sebatang pohon yang anehnya mengeluarkan darah. Penduduk kemudian tahu bahwa pohon tersebut adalah seekor ular. Bukannya takut, mereka malah bersuka ria membunuh ular tersebut untuk diambil dagingnya kemudian pulang dan mengggelar pesta besar sambil memasak daging ular tersebut. Di tengah pesta datang seorang anak kecil dengan badan penuh luka meminta sedikit makanan.Sebenarnya anak tersebut adalah jelmaan Baru Klinthing, tubuhnya penuh luka akibat jasad naganya diambil dan dikuliti oleh penduduk desa.
Bukanya berbelas kasihan, penduduk desa malah mencaci maki dan melempari anak tersebut tanpa diberi makan sedikitpun. Ada seorang janda tua bernama Nyai Latung merasa kasihan sehingga jatah makananya ia berikan kepada anak tersebut. Anak tersebut kemudian berkata kepada Nyai Latung..”Mbok, baik benar hatimu. ..sekarang pulanglah..nanti kalau terjadi huru hara janganlah takut dan gentar, naiklah ke lesung (tempat menumbuk padi jaman dahulu yang berbentuk seperti perahu) dan peganglah enthong (alat mengambil nasi yang mirip dayung perahu) aku hendak memberi pelajaran manusia serakah dan tak kenal belas kasihan ini.”Nyai Latung pun pulang meski dengan hati yang heran.
Anak kecil jelmaan Baru Klinthing kemudian pergi ke tengah keramaian pesta, sambil membawa sekerat daging besar dia berkata..”aku punya sekerat daging besar, siapa bisa mencabut lidi yang aku tancapkan akan aku beri daging ini, kalau gagal akan aku minta daging kalian”. Tantangan ini disambut antusias penduduk desa yang serakah. Hal aneh terjadi, sebatang lidi yang ditancapkan ke tanah tak bisa dicabut meski oleh orang paling kuat.Akhirnya penduduk desa semua berkumpul ke tempat tersebut.
Saat semua telah berkumpul anak jelmaan Baru Klinthing berkata..” manusia serakah dan tak kenal belas kasihan, dagingku kalian ambil tapi sedikitpun kalian tidak sudi memberi aku yang kelaparan, terimalah ini pembalasanku…” sambil mencabut lidi yang ditancapkanya. Bumi bergoncang dan langit gelap gulita, bekas lidi tersebut mengeluarkan air deras yang luar biasa. Penduduk berlarian mencari selamat namun tanah retak dimana mana dan segera tertelan bumi. Desa tersebut tenggelam dan penduduk mati tenggelam. Nyai Latung selamat dari terjangan air bah karena mendengar pesan dari Baru Klinthing. Tanah desa tersebut kemudian menjadi daerah berair (dalam bahasa Jawa disebut ngembel) dan maka daerah tersebut kemudian diberi nama Ngebel. (cerita ini adalah cerita legenda yang secara nalar tidak bisa dijelaskan namun banyak pesan positif yang dapat kita ambil dari cerita legenda tersebut)
sumber :
SETENPO, Semua Tentang Ponorogo
SETENPO, Semua Tentang Ponorogo